MEMBACA MAKNA DALAM PUISI SOUND OF BAITURRAHMAN

Posted: Juli 9, 2008 in KLIPING - KLIPING MEDIA

SERAMBI INDONESIA · 25/05/2008 11:32 WIB [ penulis: Taufik Sentana Hiday | kategori: Headline ] //dalam sorot matamu yang teduh segala warna berpadu/ menyerap semua keheningan/ yang diam dan yang berangkat pergi (tanpa berpura-pura)/ dalam peradaban baru ini/ dan keriuhan yang kadang membuat gerah/ dari arus urbanisasi dan ketakutan terkini lalu kecemasan itu luluh dalam dekapmu yang lembut/ dalam mimpi-mimpi yang kita rekatkan dengan gemetar tangan/(lalu bagaimana kita memungkirinya)/ pada akhirnya/ hanya engkaulah yang memanggilku dengan segala kasih cinta/ dengan takbir yang menggigilkan seluruh nadi!// (Serambi Indonesia, Edisi Minggu, 27 April 2008, hal.18) Saya tertarik dengan puisi karya saudara Doel CP itu. Puisi dengan nada takjub, gelisah, getir tetapi menyimpan kekhusukan personal yang dalam. Maka saya coba menangkap maknanya, menyingkap sedikit kandungannya. Ada hal yang mungkin sangat perlu disintesiskan; secara struktur global, puisi Doel adalah puisi dengan menggunakan pendekaran narasi. Dari struktur baris, sintaksis, larik dan baitnya, dimana kaidah-kaidah berbahasa resmi tampak tidak begitu diperhatikan (ini sah-sah saja, baik itu sebagai metode ungkap ataupun gaya khas). Puisi ini berbentuk konvensional, walaupun bersifat modern (mutakhir), dimana tipografi(tata wajah), diksi dan pengimajian tidak dikondisikan dengan ketat dan menyolok (menampakkan unsur-unsur kekinian) secara signifikan. Alirannya yang impresionis; Sang penyair tidak mendeskripsikan kenyataan yang ia alami (manusia, peristiwa, benda atau sebagainya) secara detil dan intens, melainkan sang penyair menciptakan puisi tersebut untuk menunjukkan kesan, penghayatan dan kesadaran si penyair sendiri. Pada puisi ini penyair terkesan akan Sound of BaiTurrahman , tetapi tidak menguraikan kesan itu, melainkan mengolahnya di dalam batin, akal dan rasanya, … sorot matamu yang teduh…/.. lalu kecemasan itu luluh dalam dekapmu yang lembut sehingga /…pada akhirnya, hanya engkaulah yang memanggilku.. [Bandingkan dengan bait Wiratmadinata!; Elegi buat Baiturrahman ; Kau adalah mata Tuhan yang lugu/tempat bersemayam ribuan hati pengembara/penyair yang jadi saksi zaman/ menapaki abad yang tergelincir dari peradaban/.. (sumber: materi lomba Baca Puisi Hadih Maja DKB, 2003). Sejatinya puisi Doel, memiliki tiga atau empat bait. Bila penyair bermaksud hanya tiga bait (ia juga bebas menyatakan tanpa bait), maka itu tampak dari kalimat yang diberi tanda kurung sebagai pembatas, (tanpa berpura-pura) / (lalu bagaimana kita memungkirinya). Kita perlu menyebut bait karena setiap larik dalam setiap bait mengandung kunci gagasan, meskipun secara lahiri kita tidak melihat adanya bait pada puisi di atas. Namun dalam bentuk naratif, bait yang kita maksud dapat ditangkap dari hubungan sintaksis antarbagian atau gagasan-gagasan yang terbangun di dalamnya. Secara umum tema utama dari puisi karya saudara Doel. CP ini adalah Ketuhanan. Suara/seruan dari Rumah yang Maha Pengasih (semoga artinya tepat). Tentu si penyair memiliki alasan dan pengalaman yang mengkristal sehingga memilihnya. Untuk selanjutnya kita merasa perlu mengetahui bagaimana atsar (efek) suara yang dimaksud penyair tadi terhadap suasana batinnya sendiri, yang kemudian mempengaruhi suasana batin puisi ciptaannya. Marilah kita cermati lebih dalam. a. Bagian I: Penyair menunjukkan kesan personalnya terhadap suatu objek ; dalam sorot matamu yang teduh segala warna berpadu / menyerap semua keheningan.. / Sorot mata, warna-warna yang berpadu dan keheningan yang terserap kuat oleh arus tertentu(?) telah memantik rasa takjub dalam kesadaran si penyair. Tentu saja, tanpa berpura-pura. b. Bagian II: Penyair menghubungkan kesannya dengan realitas di luar dirinya; Peradaban baru, keriuhan, kegerahan, urbanisasi dan ketakutan terkini. Lalu cemas! Tapi penyair secara cepat merasakan rasa cemas itu, luluh dalam dekapmu yang lembut/ dalam mimpi-mimpi yang kita rekatkan……./ c. Bagian III: Penyair menapaki puncak sadarnya (bahwa ia tidak hanya mendengar tapi juga melihat) akan makna ketakjuban yang ia rasakan dan berusaha menjawab mimpi, rindu dan cemasnya; hanya engkaulah yang memanggilku dengan segala kasuh cinta / dengan takbir yang menggigilkan seluruh nadi! (Kecuali nadi si yang berpura-pura) Puisi ini menunjukkan penghayatan dan puncak sadar penyair terhadap panggilan `si yang mendekapnya´, panggilan si yang meluluhkan cemasnya, panggilan si yang menyerap semua keheningan; lewat takbir yang menggigilkan seluruh nadi! Untuk melengkapi pembahasan singkat ini, perlu kiranya kita mempertimbangkan latar belakang dan sejarah (terkini) yang melingkupi si penyair dan proses kreatifnya dalam menyelesaikan puisi di atas. Seperti pendidikan, kultur dan arus gaya hidup. Apakah si penyair memiliki hubungan emosio-historis yang kuat terhadap BaiTurrahman dan suaranya? Apakah penyair memang sangat dekat dengan objek yang membuatnya terkesan? Apakah itu hanya menunjukkan kesan personal-spirituil belaka? Faktanya puisi ini di tulis di Malaysia, 25 Maret 2006. Apakah ada BaiTurrahman di sana? Bila tidak, si penyair telah mengkristalkan pengalamannya terhadap kesan mesjid yang ia rasakan di sana dan terbitlah kerinduan (atau semacam itu) akan kampung halaman/Aceh. Besarlah kemungkinan bahwa saudara Doel. CP orang Aceh (bila bukan, berarti beliau lebih Aceh. Atau ada BaiTurrahman yang lain?) Dapat pula dikatakan bahwa sang penyair memiliki kualitas pengalaman religius keislaman yang memadai. Ditambah dengan kenyataan bahwa Aceh telah dikepung oleh arus yang justeru tidak menyerap keheningan (menerbitkan kekhusukan). Dalam Tatanan nilai yang jauh dari idealitas berdasarkan perspektif si penyair. Untuk itu penyair mengajak kita, lewat dirinya, untuk merasa terpanggil secara fithrah dan memenuhi hidup dengan takbir (sebagai implementasi sosial dari panggilan Sound of BaiTurrahman ). Hingga nadi terus menerus menggigil. Sepintas dapat kita rasakan bahwa puisi Doel memiliki kepaduan harmoni antara fisik dan batin puisi serta kempleksitas pengalaman si penyair. Puisi tersebut sangat baik dalam intensitas pengolahan instrumen bahasanya sebagai media ungkap si penyair. Marilah kita cermati kembali! Bahasa prismatis yang dipakai penyair, lalu disusun lugas dan (mungkin) sengaja untuk menampilkan kesan yang tidak begitu subtil dan samar, maka penyair berhasil untuk tidak menjadikan puisinya sebagai puisi yang gelap (abstrak). Diksi yang bernada takjub, terdapat pada bagian pertama, dipantulkan dalam kata; mata, warna (bandingkan dengan keajaiban mata dan juga warna dalam kehidupan kita), menyerap. Dan untuk menampilkan daya sugesti penyair menggunakan kalimat; yang diam dan beranjak pergi, ketakutan terkini, mimpi-mimpi yang kita rekatkan dengan gemetar tangan. Lalu suasana yang takjub tadi, yang tiba-tiba cemas, tapi segera muncul bahagia; luluh dalam dekapmu, meskipun ada sedikit gemetar; Oleh kerinduan, realitas sehari-hari penyair dan rasa bersalah. Di bagian ketiga penyair menunjukkan klimaksnya dengan satu/dua kata figuratif ; menggigil dan mungkin `nadi´ (bisa jadi bukan nadi yang sebenarnya). Sedangkan pada bagian satu dan dua penyair sempat juga menggunakan beberapa kata figuratif, namun tidak sampai memendam maknanya di kedalaman, seperti; sorot mata, yang diam, beranjak pergi, urbanisasi, ketakutan terkini. Ini menunjukkan kelugasan si penyair dalam memilih kata. Bagaimana selanjutnya? Penyair merasa puas / berhasil dalam menerjemahkan energi (panggilan cahaya) dan arus dari Sound of BaiTurrahman yang menyerap semuanya. Si penyair dipanggil (bukan terpanggil!) untuk memadu rindu dalam dekap, dengan kasih cinta dengan takbir yang menggigilkan seluruh nadi! Itulah pertemuan terindah, itulah pengalaman termanis! Doel telah manampilkan persaannya yang tak menentu (karena kegaduhan sosial, semacam benturan nilai ataupun keriuhan batinnya sendiri–– dari takjub, ke cemas, berharap dan sadar lalu menggigilkan nadi! Kesempurnaan perasaan penyair tampak dalam ungkapan, matamu dekapmu, yang kita rekatkan dan hanya engkau. Dimana sang penyair mengguknan huruf kecil pada awal kata ganti (Teman Bicara) yang mewakili `si pemilik panggilan´ yang dimaksud penyair. Selain itu penyair juga merasakan bahwa takbir (yang disebut pada akhir bagian) itu datang dengan `sorot mata´ si pemiliknya. Puisi Sound of BaiTurrahman menampilkan tingkat artistik-literer, termasuk kreativitas, yang sangat baik. Namun kurang dalam hal imaji, versifikasi: Rima , Ritma dan Metrum. Mungkin dengan alasan agar puisi yang tercipta memiliki kesan utuh tanpa pengolahan yang detil dan intens sehingga dikhawatirkan akan merusak suasana. *) TAUFIK SENTANA, Guru Bahasa Arab di M.Ts. Harapan Bangsa, peminat seni, sastra dan sains.

Catatan : ada beberapa kesalahan ketik dan terpotongnya puisi terakhir yang dimuat redaksi SI

antaranya BaiTurrahman [seharusnya Baiturrahman] dan soal tempat penulisan puisi di kuala lumpur [seharusnya untuk puisi yang lain yang terpotong/tidak termuat]

Tinggalkan komentar