PENGANTIN HARIMAU : Cerpen SALMAN YOGA S

Posted: Desember 31, 2009 in CERPEN-CERPEN

Harian Aceh / 25 Januari 2009


Jenah tidak merasa sendiri dan kecewa bila sepertiga malam kali ini ia tidak ditemani oleh suaminya, sebagaimana malam-malam dingin sebelumnya. Karena pada setiap musim tanam, Jolung suaminya selalu keluar rumah pada dini hari untuk menjaga air sawah. Jenah mengerti, sudah beberapa kali musim tanam hujan selalu datang belakangan. Orang-orang tua bilang inilah yang disebut dengan salah musim.

Tetapi, Jenah tidak memaklumi air yang bersumber dari hulu semakin sedikit, terlebih setelah hutan yang menyerap dan menyimpan air itu telah lama ditebangi oleh orang kota. Kini gunung-gunung di sekitar kampung Geldok itu lebih mirip kepala bayi, plontos, gundul tanpa rambut. Air kritis, hewan penghuninyapun kehilangan lahan mencari makan. Justru karena itulah, Jolung harus tetap menjaga aliran air, dan padi yang baru ditanam beberapa hari yang lalu itu dapat tumbuh dengan sempurna. Meskipun sudah ada jatah dan pembagian waktu yang disepakati oleh masing-masing pemilik sawah, Jolung harus tetap menjaganya. Karena apabila tidak, selalu saja ada orang yang berlaku curang dengan menutup aliran air bagiannya.

Pagi ini, usai merapikan dipan, selimut dan seprai kusut Jenah bergegas menuju telaga. Putih embun yang mendekap dedaunan semalaman belum sepenuhnya menguap ke udara. Tetapi, kicau burung sudah terdengar bersahut-sahutan dari segala penjuru dan rerantingan pohon. Jalan setapak menyisakan basah. Titik-titik butiran air di rumput jatuh terkibas. Kain sarung sebatas mata kaki itu ditariknya hingga ke lutut, agar tidak basah oleh endapan embun. Betis putih bersih berlalu. Berjalan sendiri menuju telaga jernih di ujung kampung dengan menenteng buntelan cucian di tangan kanan, timba sabun di tangan kiri serta handuk lusuh bergantung di pundaknya.

Keakrapan pagi menyeruak. Asap kayu bakar yang disulut dari dapur di rumah-rumah penduduk tercium sebagai parfum kesahajaan dan kesederhanaan. Pagi mengepak. Hari telah berganti. Kehidupan dilanjutkan. Seisi kampung Geldok menggeliat. Seperti anak ayam yang menjulurkan paruh dan kepalanya dari tempurung, orang-orang mulai tampak keluar dari kehangatan naungan rumah papannya masing-masing.

Jenah berjalan menyusuri jalan setapak. Seperti pagi-pagi sebelumnya, ia menuju ke telaga untuk sekedar bersih-bersih atau menyuci kain. Kesahajaannya sama persis dengan ketidak tahuannya, tentang peristiwa yang terjadi tadi malam di kaki bukit sebelah timur. Seorang manusia telah menjadi mayat. Terlentang di atas patal sumber mata air, dengan pakaian yang tercabik-cabik. Tangan kirinya memegangi leher dan tangan kanannya puntung hingga bahu. Bekas luka sayatan benda tajam tampak menganga di punggung dan kekujur tubuhnya, tetapi sudah tidak mengeluarkan darah. Seperti gerisan ikan yang sudah dilumuri garam dan jeruk sayur. Tubuhnya terbujur kaku dengan luka daging yang memutih.

Semalam beberapa ekor anjing memang menggonggong, terdengar riuh dipelataran persawahan. Tetapi tidak ada yang berani keluar rumah untuk melihat atau memastikan apa yang tengah terjadi. Pikiran mereka, babi hutan sedang turun mengorek ubi rambat atau tanaman kentang milik penduduk. Dan tugas anjing adalah mengusirnya dengan menggonggongngi. Hal tersebut menjadi sesuatu yang biasa bagi masyarakat Geldok, terlebih bila kemarau tiba babi-babi hutan itu akan turun secara bergerombolan untuk mencari makanan ke pinggir-pinggir ladang persawahan.

Hari ini, adalah pagi yang keempat puluh bagi Jenah merengkuh kedamaian sebagai pengantin baru. Ia dilamar dan dinikahi oleh Jolung, pemuda dari kampung seberang yang dikenal rajin, bertanggungjawab dan dari keluarga baik-baik.

“Kau beruntung Jenah !”, kata Nila sambil memercikkan air kearah Jenah

“Beruntung apanya Nila ?”

“Ya, beruntung kau dapat disunting oleh Jolung, pemuda tampan dan rajin itu !”

“Ah Nila kau bisa aja !” sahut Jenah sambil tersipu

Usai bersih-bersih dan membereskan semua cucian, Jenah bergegas pulang. Tanggungjawab dan rutinitasnya untuk menyiapkan kopi serta sarapan pagi bagi suami terlintas jelas di kepalanya. Perjalan pulang, dari kejauhan Jenah melihat dengan jelas iring-iringan orang kampung berjalan di atas patal persawahan dengan menandu sesuatu. Beberapa di antaranya ada yang menenteng kain sarung dan parang sambil menyebut asma Allah serta shalawat Nabi. Beberapa saat itu pula ia memberitahukan hal itu kepada Nila yang masih berendam, tetapi kemudian ia bergegas pergi sambil menenteng timbanya.

Tidak ada firasat apapun di hatinya, mengapa sepagi ini ada iring-iringan orang berjalan di tengah sawah sambil bershalawat seperti menghantar calon pengantin baru keprosesi ijab qabul. Otaknya malas menganalisa pemandangan yang tak lazim itu. Pikirannya bagaimana sesegera mungkin tiba di rumah sebelum matahari meninggi, menyiapkan sarapan, ganti baju dan sedikit berdandan lalu menyambut kedatangan sang suami di depan pintu yang terkantuk setelah semalam menjaga air.

Orang-orang sekampung mulai riuh dan saling berbisik, berdiri disepanjang jalan menuju kampung seolah menunggu dilalui kompoi karnaval tujuhbelasan. Ada kejadian yang luar biasa dipagi jum’at itu, kejadian yang konon kerap terjadi pada setiap musim tanam tiba dan pada malam jum’at.

“Giliran siapa lagi kali ini ?“

“Tidak tau !”

“Abdi dan Munzir menemukannya tergeletak di atas patal sumber mata air dengan tangan kanan puntung dan pakaian yang tercabik-cabik penuh darah !”

“Tangan puntung ?”

“Ya, tangannya puntung !”

“Apa yang terjadi ?”

Berselang dua rumah dan tiga petak sawah  menjelang tiba di halaman rumahnya yang mungil, sebagai pemberian pemerintah atas terbakarnya istana mereka saat terjadinya konflik. Jenah kembali disuguhi pemandangan yang sama. Kali ini otaknya memang berputar, cepat. “Mengapa iringan orang-orang di tengah persawahan tadi menuju ke rumahku?” Sembari terus berpikir Jenah mempercepat langkah kakinya, tentengan timba dan handuk terhempas begitu saja. Suasana pagi yang masih menyisakan embun dan dingin udara tak meredakan kegundahan Jenah yang terus memuncratkan keringat dari dahi dan pelipisnya.

Dengan menarik sedikit kain sarungnya ke atas lutut memperlebar langkah kaki, Jenah menyusuri jalan setapak yang sempit itu, bak jalan lebar kampung yang berdebu dan penuh kerikil, telapak kaki dan betis seperti padi bunting itu lincah mengayun. Ingatannya hanya tertuju pada Jolung, tidak ada lain kesimpulannya. “Oh.. suamiku !” desahnya dalam, menembus seluruh otot dan tulang-tulang.

“Baaang ..?” jeritnya memacu langkah, satu dua parit aliran air sawah ia loncati. Selendang putih yang menghalau pandang ia kibaskan. Rumah yang berseberangan dengan jalan kampung itu terasa sangat jauh. Pandangan Jenah lurus tertuju ke halaman, dimana sejumlah orang-orang telah berkerumun. Kali ini kakinya terasa sangat berat diayunkan. Matanya hilang pandangan, gelap, seakan bentangan layar hitam menghalangi penglihatannya. Sayup dari kerumunan itu terdengar pembicaraan. Tetapi jenah sudah tak mampu lagi mengangkat kaki, tenggorokannya terasa sangat berat menghembus dan menarik nafas. Tetapi bibirnya bergerak-gerak mengeja nama J o l u n g.

“Aku yakin harimau yang sama!”

“Ya, harimau yang telah memangsa Aman Selki, Salwa dan Rizal!”

“Bisa jadi harimau itu pula yang mencabik Jolung”

“Harimau itu telah menemukan seleranya sendiri. Daging manusia !”

Layaknya pengantin baru, Jenah dibaringkan di ruang tengah. Bersanding, terlentang persis di samping suaminya yang kaku, setelah beberapa orang menggotongnya dari dalam parit seberang jalan. Keringat bercampur air mata dan lumpur merah di pipi Jenah terlihat membelang, membentuk kuasan warna belang mulut dan punggung harimau.

Takengon,  Feb  2008

Komentar

Tinggalkan komentar